Media Informasi tentang Perkebunan Kelapa Sawit Di Kalimantan Timur

Kamis, 18 September 2008

PETANI SAWIT SERBU KANTOR BUPATI

sumber; koran kaltim
Selasa, 16 September 2008

NUNUKAN-- Ratusan massa dari sejumlah kelompok tani di Kanduangan, Siemanggaris, Nunukan, Senin (15/9) kemarin melakukan demonstrasi menuntut pembebasan rekan-rekannya yang ditangkap polisi. Sejumlah petani kelapa sawit, satu persatu ditangkap polisi atas aduan perusahaan perkebunan Bumi Siemanggaris Indah (BSI). Mereka dituding telah melakukan penyerobotan di lahan milik perusahaan.
Aksi itu bermula sekitar Pukul 11.00 Wita di Kantor DPRD Nunukan. Massa tiba menggunakan kendaraan roda 2 dan truk. Di kantor wakil rakyat ini, massa ditemui Ketua DPRD Nunukan Ngatidjan Ahmadi. Namun oleh Ngatidjan, massa diarahkan ke Kantor Bupati Nunukan didampingi sejumlah anggota Komisi I dan Komisi II.
Di sana, perwakilan massa diterima Asisten II Setkab Nunukan Haji Adi Kamaris Ishak. Massa sempat menolak pertemuan itu, karena tanpa dihadiri bupati. Namun setelah mendapatkan penjelasan panjang lebar dari Adi Kamaris, pertemuan tersebut akhirnya dapat dilanjutkan.
Abdullah Tansi yang mendampingi warga dalam aksi itu mengatakan, pihaknya menyayangkan karena di saat upaya penyelesaian sengketa lahan antara perusahaan dan kelompok tani berjalan, BSI justru melakukan pelaporan ke kantor polisi sehingga sejumlah warga ditangkap.
"Kenapa kami berdemonstrasi, karena adanya egoisme dari pihak perusahan yang tidak konsisten menerapkan surat pernyataan yang dibuat di hadapan bupati saat pertemuan di rumah jabatan bupati," kata Abdulah.
Menurutnya, dalam pertemuan 8 Desember 2007 itu, BSI menyatakan belum akan melaksanakan pembukaan kelapa sawit di areal yang telah dibersihkan masyarkat. "Tapi BSI tidak menghargai Pemkab Nunukan, karena tidak konsisten melaksanakan. BSI juga tidak melaksanakan kesepakatan dengan masyarakat yang isinya sepakat tidak saling mengganggu sampai ada solusi," katanya.
Abdullah mempertanyakan, mengapa di saat penyelesaian kasus itu belum tercapai pihak perusahaan telah mengambil langkah hukum. "Sekarang masyarakat berkebun, karena telah mendapatkan legitimasi dari RT, lurah dan camat. Mereka itu ujung tombak pemerintah, kalau keberadaan mereka tidak diakui, lebih baik RT, lurah, camat tidak perlu ada. Dan yang pasti, kami mendesak penangkapan terhadap warga dihentikan," katanya.
Atas pernyataan Abdullah itu, anggota Komisi I DPRD Nunukan Viktor Ola Tokan mengatakan apa yang disampaikan Abdullah sudah lepas dari konteks. Karena semula yang menjadi permasalahan dalam pertemuan itu mengenai tumpang tindih lahan antara perusahaan dengan kelompok tani.
"Tapi kalau sudah dilarikan ke penangkapan, ini keluar konteks," kata Viktor.
Atas pernyataan Viktor, Abdullah langsung menginterupsi. Abdullah beralibi, yang ditangkap merupakan pelaku kebun, yakni petani yang bekerja di lahan itu. "Artinya di sini, BSI tidak konsisten atas komitmennya. Sebab kalau dia konsisten, seharusnya tidak lapor ke polisi," katanya.
Viktor kemudian melanjutkan, jika yang menjadi masalah justru h penangkapan, dalam pertemuan itu Pemkab Nunukan hanya bisa menyampaikan imbauan saja. Sebab masalah itu sudah memasuki ranah hukum. "Jadi akar permasalahannya ‘kan penangkapan karena ada penyerobotan lahan," kata Viktor.
Pada bagian lain, Putra yang juga penanggung jawab aksi mengatakan, persoalan sengekta lahan itu bisa diselesaikan pemerintah dan kelompok tani tanpa kehadiran pihak perusahaan. Sebab, keberadaan petani jauh lebih dulu sebelum pihak perusahaan beroperasi. "Kami sudah berada di sana sejak tahun 1997, tapi kenapa HGU bisa dikeluarkan tahun 2003?" tanya Putra.
Menurut Putra, HGU yang dikeluarkan itu justru berada di kebun masyarakat.
"Kami bukan menggarap di lahan BSI, saya menggarap di lahan saya. Tapi kenapa perusahaan harus mengusir masyarakat. Kami dilaporkan ke polisi karena dituduh menyerobot, padahal kami duluan dari BSI," jelasnya.
Ia mengatakan, sejak tahun 1999 petani telah mendapatkan izin garap. "Sedangkan BSI dari tahun 2000 sampai 2002 hanya mengambil kayunya saja," katanya.
Putra malah menuding, pihak perusahaan lah yang banyak melakukan pelanggaran.
"Patok perbatasan dihancurkan, harusnya itu yang dipidanakan. Kenapa masyarakat yang menggarap tanah negara itu, yang dipidana?" tanya dia. Putra malah merasa heran, karena dirinya justru didesak aparat untuk menghentikan kegiatan.
"Padahal sebagai ketua RT setempat saya harusnya mencarikan solusi dengan mendorong membangun, bukan untuk menghentikan kegiatan masyarakat," katanya.
Sementara Adi Kamaris menjelaskan, bupati sudah berkali-kali mengadakan pertemuan sebagai upaya menyelesaikan sengketa lahan antara perusahaan dan kelompok tani.
"Tapi setelah berjalan beberapa bulan, sampai saat ini malah terjadi peristiwa pemanggilan masyarakat oleh pihak keamanan. Kami sama sekali kami tidak dilibatkan BSI soal itu (penangkapan, Red.)," katanya.
Bahkan kata Adi, setelah adanya pemanggilan oleh aparat, beberapa hari lalu diadakan lagi pertemuan termasuk dihadiri tokoh masyarakat Haji Bakaran. "Kita undang pihak perusahaan tapi yang datang bukan penentu, sehinggab bupati menolak hadir pada pertemuan itu," katanya.
Setelah bernegosiasi, BSI akhirnya bersedia menghadirkan para pengambil kebijakannya pada pertemuan yang rencananya dilaksanakan tanggal 20 September mendatang. Pertemuan itu sendiri, juga akan menghadirkan perwakilan kelompok tani.
"Jadi kita juga harus menghormati apa keputusan perusahaan dan apa tawaran masayrakat. Dulu kan sudah demo damai disini, meski bupati hadir disini dia tidak bisa mengambil keputusan bulat, percuma membuang energi, harus dari pihak perusahaannya juga hadir," katanya. (noe)

Tidak ada komentar: